Bagaimanaya Hukum Onani atau Masturbasi di Bulan Puasa?

  Dalam Al-Qur’an surah al-Mu’minun menjelaskan sifat dan sikap orang yang memperoleh keberuntungan. Salah satu di antaranya adalah, Mereka yang memelihara kemaluan mereka, kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka (istri/suami yang sah) dan atau (bagi pria) budak-budak wanita mereka, dan sesungguhnya dalam keadaan seperti ini mereka tidak tercela (QS al-Mu’minun (23): 5-6).

  Ayat ini dijadikan dasar oleh sebagian ulama—untuk menyatakan bahwa alat kelamin tidak boleh digunakan untuk pelampiasan nafsu seksual —kecuali melalui hubungan antara pasangan yang sah. Atas dasar ini, mereka membenarkan pengeluaran sperma atau pemuasan seksual suami atau istri yang sah menurut agama, walaupun keluarnya sperma/ tercapainya kepuasan (orgasme) tidak melalui alat kelamin pasangannya.

  Satu-satunya anggota tubuh yang dikecualikan oleh mayoritas ulama bagi pemuasan seksual untuk pasangan suami-istri adalah “menembus jalan belakang”. “Terkutuk yang melakukan hubungan seks dari dubur,” begitu sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud dan an-Nasa’i melalui Abu Hurairah.

  Memang benar bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, tetapi itu bukan satu-satunya tujuan. Ketenangan batin, serta pemenuhan kebutuhan seksual dan psikologis juga diharapkan dapat dicapai melalui perkawinan. Karena itu pula tidak ada halangan bagi suami-istri —bila sepakat— untuk tidak melahirkan atau menangguhkan kelahiran anak. Atas dasar ayat itu pula mayoritas ulama mengharamkan onani, masturbasi dan semacamnya bila dilakukan oleh yang bersangkutan sendiri, baik dengan tangannya maupun dengan cara lain. Ini dinamakan “menikahi diri sendiri atau menikahi tangan sendiri”.

  Dalam konteks ini, sementara ulama yang berpendapat seperti itu mengemukakan
riwayat yang menyatakan, “Terkutuk siapa yang menikahi tangannya.” Harus diakui pula bahwa pandangan di atas berdasarkan pemahaman terhadap ayat, bukan bunyi teks ayat. Karena itu pakar hukum Islam dan penafsir besar Ibnu al-’Arabi dan al-Qurthubi, ketika mengemukakan hal ini, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal —yang sedemikian kuat keberagamaannya— berpendapat bahwa onani merupakan “pengeluaran sesuatu yang berlebih dari tubuh/ diri pelakunya dan ini boleh-boleh saja saat diperlukan.”

  Pendapat Imam Ahmad ini diikuti pula oleh sedikit ulama bermazhab Hanbali, namun tidak diterima oleh mayoritas ulama. Bahkan kata mereka, “Seandainya ada dalil yang jelas membolehkannya, maka orang-orang terhormat tetap akan menghindarinya.” Al-Qurthubi menulis, “Kalau ada yang berkata bahwa onani lebih baik daripada menikahi budak, maka kami berkata, “Menikahi budak wanita walau kafir lebih baik daripada onani.’” (Lihat Tafsir al-Qurthubi dalam penafsiran ayat 5 dan 6 surah al-Mu’minun).

  Sekali lagi harus diakui bahwa tidak ada dalil yang tegas yang melarang onani. Riwayat-riwayat yang berbicara tentang hal onani ditolak kesahihannya oleh banyak ulama. Namun demikian, diakui pula oleh banyak pihak, termasuk yang melakukan onani, bahwa perbuatan ini bukanlah suatu perbuatan terpuji.
Salah satu buktinya adalah sering pelakunya merasa bersalah dan berdosa setelah melakukannya. Perasaan bersalah dan cemas itu menjadi bukti bahwa onani/ masturbasi dinilai oleh jiwa manusia sendiri sebagai satu hal yang harus dihindari. Akan tetapi, jika seseorang menghadapi dosa atau dampak yang lebih buruk yang tidak dapat dihindarinya, seperti terjerumus dalam perzinaan, maka dalam keadaan seperti ini dia harus memilih segala macam cara yang lebih ringan dampak negatif atau dosanya. Dalam hal ini, onani jelas lebih ringan dosa atau dampak negatifnya dibandingkan dengan zina.

  Sebenarnya Rasul saw. memberikan petunjuk kepada para pemuda yang menggebu syahwatnya, tetapi tidak mampu kawin, agar mengalihkan perhatiannya pada hal-hal positif. Salah satu contoh yang diberikan oleh 
  
  Rasul Saw adalah berpuasa atau mendekatkan diri kepada Allah guna menghindar dari segala macam rangsangan negatif seperti tontonan atau bacaan yang tidak mendidik. Juga dianjurkan melakukan aktivitas yang bermanfaat seperti berolahraga, bermain, musik, melakukan studi, dan segala hal yang positif.

Bagaimana jika Mimpi Basah di Siang Bolong Saat Puasa Mimpi di luar kuasa pengendalian manusia, dan tidak dipertanggungjawabkandi hadapan Allah. Karena itu, keluar sperma saat bermimpi tidak membatalkan puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar