Kiamat atau Selamat kah Blackberry ke Depan?


  Senin pagi, 23 September 2013. Pekan baru dimulai. Suasana di Toronto Stock Exchange berjalan seperti biasa. Sejak pukul 07.00, papan bursa saham terus bergerak, mencatat tiap saat info pergerakan nilai saham 1.559 perusahaan publik di seantero Kanada. Hari itu, perdagangan kembali dibuka.

  BlackBerry memulai harinya dengan cukup baik. Di lantai bursa terbesar kedelapan di dunia itu —dengan nilai kapitalisasi pasar US$2,05 triliun itu-- saham BB (kode perusahaan BlackBerry) stabil di level 9,08 dolar Kanada per lembar.

  Menjelang pukul 09.00, segerombolan orang bersetelan jas sambil berbincang serius, tiba-tiba beranjak meninggalkan ruang utama di sisi tengah gedung TSX. Tak ada yang peduli. Hingga selang beberapa menit kemudian, awak bursa dikejutkan berita besar.

  BlackBerry baru saja menandatangani perjanjian penjualan perusahaan dengan sebuah konsorsium yang dipimpin Fairfax Financial Holdings Limited. Tak disangka, dalam hitungan jam, nilai saham BlackBerry merangkak ke level 9,25 dolar Kanada per lembar. Ini berita segar untuk banyak pihak, terlebih BlackBerry.

  Laksana bala tentara yang sedang kalah berdarah-darah, mantan raja ponsel pintar yang tengah sekarat itu menerima bala bantuan. BlackBerry, yang sesak akibat berita miring di media selama ini, hari itu bisa bernafas agak lega.

  Penandatanganan yang tertuang dalam Letter of Intent (LOI) menyebutkan Fairfax akan membeli BB dengan taksiran nilai mencapai US$4,7 miliar, setara Rp53,7 triliun. Nanti, kalau jadi diteken, BlackBerry akan menerima US$9 untuk tiap lembar saham yang dibeli konsorsium itu secara tunai.

  Tentu itu bukan tawaran yang buruk mengingat kondisi BlackBerry yang semakin hari semakin sakit. Ini peluang emas, harus dipikirkan masak-masak. Jika tidak diambil, belum tentu datang lagi. Memang nilainya tidak setinggi dulu, ketika posisi BlackBerry berjaya di tahun 2010. Tapi, setidaknya ini bisa menjadi batu loncatan BlackBerry untuk kembali bersinar di pentas ponsel pintar global.

  Popularitas BlackBerry melejit di era 2008-2010. Mungkin beberapa dari Anda sudah meninggalkan perangkat ini. Namun, tak usah dipungkiri, nama itu masih akrab di telinga kita sampai hari ini. Memang, sejak pertengahan tahun 2010, nama BlackBerry meredup. Di percaturan ponsel global, perusahaan asal Kanada itu tergelincir. Pangsa pasarnya digerogoti Samsung, menyusul Apple, LG Electronics, dan Lenovo. BlackBerry kalah telak. Terlempar dari posisi lima besar.

  Nilai sahamnya terjun bebas, dari 149,9 dolar Kanada per lembar pada Juni 2008 menjadi 7,73 dolar Kanada per hari ini.

Sangat menyedihkan.

  BlackBerry yang dulu dipuja-puja kini babak belur. Di jagat sistem operasi mobile pun BB kehilangan muka. Setelah tertinggal jauh dari Android dan iOS, giliran Microsoft yang mengangkanginya dengan Windows Phone per tahun ini. Di catatan Gartner, BlackBerry yang pernah menguasai 20 persen pangsa pasar hari ini bertengger di posisi empat dengan 6,1 juta unit ponsel di dunia, atau menguasai 2,7 persen pangsa pasar. (Lihat Infografik: Antiklimaks BlackBerry).

Ada apa dengan BlackBerry?

  Sejumlah analis menilai karier BlackBerry di pasar nyaris tamat. Kepercayaan publik terhadap BlackBery sebagai brand terkikis. Terlebih lagi, posisi Apple semakin cemerlang sejak meluncurkan iPhone di tahun 2007.

  "BlackBerry benar-benar keliru membaca pasar. Mereka mengira konsumen senang bekerja dengan keyboard QWERTY. Padahal, tren berubah. Konsumen nyatanya lebih menyukai ponsel layar sentuh lebar, berkinerja cepat, dengan aplikasi-aplikasi yang menyenangkan. Mereka pun meninggalkan BlackBerry," ujar Carment Levy, analis teknologi, saat diwawancarai BBC.

  Mulai pertengahan 2010, iPhone pelan-pelan mencuri pangsa BlackBerry. Muncul iPhone 4 pada bulan Juni, disusul iPhone 4S pada bulan Oktober setahun berikutnya, yang tak disangka-sangka berhasil memutarbalik keadaan. Di Eropa dan Amerika, BlackBerry mulai tersungkur.

  "Setelah beberapa tahun, mereka (BlackBerry) sadar dan buru-buru mengembangkan ponsel berlayar sentuh. Dimulai dari Z10. Sayang, semuanya terlambat. iPhone 5 sudah keburu meledak. Sementara itu Android semakin kuat. Dengan platform terbuka, mereka membanjiri pasar dengan ponsel-ponsel Samsung, LG, dan Lenovo. BlackBerry benar-benar kecolongan," ujar Levy.

  Tahun 2013 adalah tahun yang malang bagi BlackBerry. Kini, posisinya tidak lagi menghuni peringkat 10 besar pemimpin ponsel dunia. Perlahan tapi pasti, merek BlackBerry lengser. Sudah tidak dilirik. Gartner mencatat hanya ada 6,1 juta ponsel BlackBerry yang beredar di dunia saat ini; merosot dari angka 7,9 juta unit pada tahun sebelumnya.

  Tak sampai di situ, perusahaan yang dulunya bernama Research In Motion (RIM) itu dilaporkan mencatat kerugian hingga US$965 juta alias Rp18 triliun per semester pertama tahun ini. Penjualan Z10 yang lesu dan tidak sesuai target, dijadikan kambing hitam.

  BlackBerry berjuang berdarah-darah, semula dengan bertransformasi dari RIM, lalu meluncurkan sistem operasi terbaru BlackBerry OS 10. Hasilnya nihil.

  Semua usahanya tidak berbuah manis. Ponsel pintar andalannya, Z10, tenggelam di pasar, dimakan dominasi iPhone dan ponsel-ponsel Android, seperti Samsung Galaxy.

  Kondisi perusahaan yang carut-marut memaksa BlackBerry untuk mengencangkan ikat pinggang. Tak pelak, pada 20 September silam, 4.500 karyawan mereka rumahkan.

  "Kami sedang berada dalam masa sulit. Tapi, kami harus kembali menjadi perusahaan yang kompetitif dan tetap menghasilkan keuntungan," ujar Direktur Utama BlackBerry, Thorsten Heins, sebagaimana dilansir BBC.

  Kini, BlackBerry menggantungkan nasibnya pada 8.200 karyawan yang tersisa. Mereka tersebar di 36 negara. Sebagai perbandingan, saat jaya dulu, BlackBerry pernah mempekerjakan lebih dari 20 ribu orang. 

Jual diri

  Di ujung tanduk, BlackBerry mulai mencari-cari opsi baru untuk menyelamatkan diri. Tepat 13 Agustus 2013, mereka membentuk komite untuk mengkaji berbagai opsi penyelamatan perusahaan.

  "Kami percaya, ini waktu yang tepat untuk mengeksplorasi berbagai strategi alternatif," kata Komisaris BlackBerry Ltd, Timothy Dattels, kala itu. Berbagai opsi penjualan perusahaan dijajaki, termasuk rencana membentuk perusahaan patungan, mencari mitra baru, dan lain-lain.

  Langkah ini langsung menuai pro-kontra di kalangan analis. BlackBerry diramalkan akan kesulitan mencari investor baru, dan diramalkan akan menjual berbagai portofolio yang telah dipatenkan, seperti lisensi software kepada rival-rivalnya, Apple dan Microsoft.

Tapi, gayung bersambut.

  Konsorsium yang dipimpin Fairfax Financial Holdings Limited membukakan pintu. Setelah beberapa kali duduk bersama, BlackBerry akhirnya menandatangani kerja sama yang tertuang dalam Letter of Intent (LOI). Disebutkan, Fairfax akan membeli perusahaan dengan taksiran nilai US$4,7 miliar, setara Rp53,7 triliun.

  BlackBerry yang sedang terengah-engah kini bisa sedikit sumringah. Akuisisi memang belum sepenuhnya rampung. Proses saat ini dilaporkan memasuki tahap due diligence atau uji tuntas perusahaan. Di tahap ini, konsorsium akan bernegosiasi dan meneken perjanjian transaksi definitif dengan BlackBerry.

Selama periode uji tuntas ini, yang bakal berlangsung sampai 4 November ini, BlackBerry diperbolehkan meminta, menerima, dan mengevaluasi negosiasi potensial dengan pihak-pihak lain yang mengajukan tawaran.

  "Komite khusus akan menempuh jalan terbaik yang ada, demi pelanggan dan juga pemegang saham. Selama proses ini, BlackBerry berkesempatan untuk menentukan jika ada alternatif yang lebih baik dari pengajuan dan konsorsium Fairfax," dijelaskan Barbara Stymiest, Ketua Dewan Direksi BlackBerry.

Prem Watsa: juru selamat?

  Secara prinsip, jika BlackBerry setuju, sesepakatan itu berpotensi menjadikannya sebagai perusahaan tertutup. Presiden Direktur dan CEO Fairfax Prem Watsa, pemimpin konsorsium, angkat bicara. Dia optimistis, transaksi yang akan disepakati itu akan menjadi babak baru bagi BlackBerry dalam upaya menolong ekosistem perusahaan.

  "Kami akan melanjutkan eksekusi jangka panjang sebagai perusahaan privat dengan fokus memberikan solusi perusahaan yang lebih baik dan aman pada seluruh pelanggan BlackBerry di dunia," demikian pernyataannya dalam keterangan pers.

  Prem Watsa bukan pebisnis biasa. Dia disebut-sebut sebagai "Warren Buffett dari Kanada," dan merupakan investor mapan yang berpengalaman dalam membantu meningkatkan sentimen positif di pasar. Mereka yang mengenal sosoknya selama bertahun-tahun, tak akan terkejut melihat pergerakan Watsa atas BlackBerry.

  "Prem suka membeli 'barang murah'. Dia siap membeli apa yang disebut Warren Buffet cigar butts —istilah untuk sesuatu yang sudah dibuang karena tidak ada harganya," kata Robert Grundleger, analis sekaligus pendiri Groundlayer Capital, di Toronto.

  Banyak yang berpendapat Watsa menyelamatkan BlackBerry lantaran BlackBerry berasal dari Kanada. Pria yang menguasai setengah hak suara di Fairfax itu memang tersohor sebagai konglomerat India-Kanada yang berhasil.

  "Dia seorang investor yang sangat cerdas," kata analis Cormark Securities, Jeff Fenwick. "Rekam jejaknya di Amerika Utara benar-benar fenomenal selama 25 tahun terakhir."

  Di Kanada, bersama Fairfax, Watsa terkenal piawai di sektor bisnis properti dan asuransi kecelakaan. Tapi, pada saat yang sama, Watsa juga melebarkan sayap bisnisnya ke bidang lain. Dan, beberapa sudah menjadi raksasa.

  Sebut saja Imvescor Restaurant Group (23,6 persen), Resolute Forest Products (25,6 persen), Arbor Memorial (39,5 persen), Ridley (73,6 persen), Prime Restaurants (81,7 persen), William Ashley (100 persen), Sporting Life (75 persen), dan Thomas Cook India (87,1 persen). Dan, hampir semuanya berasal dari Kanada.

  "Sangat jelas, BlackBerry sedang jatuh dan berada di masa yang sulit. Tapi, mereka akan sukses lagi," kata Watsa, dalam wawancara singkat dengan Businessweek. "Apa yang akan kami lakukan adalah menstabilkan perusahaan kemudian merintisnya kembali secara perlahan. Tentu dalam waktu jangka panjang. Kami tidak berorientasi pada jangka pendek. Transaksi ini akan menjadi babak baru bagi perusahaan privat BlackBerry, pelanggan, karyawan, dan para mitra."

  Sayang, dia belum bersedia menggambarkan masa depan BlackBerry di bawah bendera konsorsium Fairfax nanti.

  Scott Redler, kepala analis strategis T3live.com, kepada CNBC Asia Squawk Box, mendukung proses privatisasi BlackBerry. Menurutnya, ini kesempatan emas. Belum tentu pemegang saham akan mendapatkan tawaran kesepakatan yang lebih baik daripada yang satu ini.

  "Saya pikir mereka harus segera menerima tawaran itu, lalu keluar dari perusahaan," kata Redler. "Pada situasi genting seperti saat ini, jangan menunggu peluang atau tawaran lain yang lebih tinggi."

Menggambar masa depan

  Perlu disadari, BlackBerry bukan perusahaan kecil yang miskin. Asetnya masih miliaran dolar. BlackBerry bukan hanya sekadar perangkat dan aplikasi pesan instan. Perusahaan dengan nilai aset US$13.1 miliar (setara Rp151,1 triliun) ini masih sangat disegani di kalangan pelanggan korporat.

  Meski tidak segurih pasar konsumer, BlackBerry masih cukup tangguh di segmen enterprise dengan BlackBerry Enterprise Server (BES) —layanan untuk perusahaan-perusahaan yang memungkinkan karyawannya mengakses data di intranet perusahaan, seperti e-mail dan jaringan. Layanan BES tersohor dengan keamanannya yang berlapis. Beberapa operator seluler di Tanah Air ikut memasarkannya, termasuk Indosat, Telkomsel, dan XL Axiata.

  Tak hanya itu, BlackBerry juga masih mempunyai platform BlackBerry 10 yang baru saja diperkenalkan Desember tahun lalu. Thorsten Heins mengatakan, BB10 akan menjadi basis OS untuk semua peranti RIM di masa depan. BlackBerry mengklaim semua perangkat berbasis BB10 bakal menghadirkan pengalaman yang lebih menakjubkan.

  Meski begitu, dengan BB10, RIM enggan menggantung asa tinggi-tinggi. Target jangka pendeknya, BlackBerry ingin menjadi ekosistem ponsel pintar ketiga terbesar di dunia, menyingkirkan Microsoft dengan OS Windows lebih dulu.

  "Kami akan fokus pada pengembangan BB10 sampai perangkatnya menjadi mature. Setelah itu, akan dibuat lisensinya. Opsi lain, kami akan mempelajari apakah BlackBerry Messenger bisa dimonetisasi menjadi sebuah bisnis perusahaan di masa depan," ujar Ardo Fadhola, Senior Country Product Manager BlackBerry Southeast Asia, kepada VIVAnews, 1 Oktober 2013 lalu.

Lalu, akankah BlackBerry Messenger menyelamatkan bisnis BlackBerry?

  Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Beberapa pengamat berpendapat, walau agak terlambat, inisiatif BlackBerry untuk membuka kran BBM lintas-platform sangat mungkin jadi penyelamat dan mencetak laba untuk perusahaan nanti.

  Sebab, BBM diam-diam telah menggodok fitur BBM Money, payment gateway seperti PayPal sebagai senjata dalam menyambut tren e-commerce pelanggan BlackBerry. Untuk memikat pelanggan, fitur ini saja memang tidak cukup. BlackBerry perlu dipecut untuk mengembangkan fitur-fitur baru yang bisa menyulap BBM menjadi layanan pesan instan raksasa, yang mampu membuat pelanggan di Indonesia, juga dunia, tertarik untuk kembali menggunakannya. (Baca juga Sorot Bagian III: Pesan Tak Pasti BlackBerry Messenger)

  Kini, nyawa BlackBerry benar-benar bergantung pada hasil uji tuntas perusahaan oleh konsorsium Fairfax. Hingga hari-H, BlackBerry sibuk mendandani diri. Mereka getol tampil di hadapan publik, mulai dari meluncurkan BBM lintas-platform sampai merilis perangkat baru, BlackBerry 9720.

  Senin, 4 November 2013, hasil uji tuntas konsorsium Fairfax akan menentukan nasib BlackBerry dan 8.200 karyawannya. Di hari penghakiman itu, BlackBerry bisa selamat, atau malah kiamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar